Minggu, 25 Mei 2008

TINDAKAAN KETIDAK DEWASAAN PARA MAHA SISWA




     "TINDAKAAN KETIDAK DEWASAAN PARA MAHA SISWA" itulah yang gw angkat dalam posting kali ini,

     Kita sepenuhnya paham: demonstrasi adalah sarana mengemukakan pendapat--dan ini dilindungi hukum. Tapi, pada saat bersamaan, sangat logis dan wajar jika muncul harapan bahwa demonstrasi bisa berlangsung damai.

     Silakan berteriak-teriak, tapi tak usah ada bentrok fisik dengan siapa pun--juga dengan aparat keamanan yang sejatinya sekadar melakoni tugas. Silakan berorasi sampai suara habis, tapi tak perlu menyandera truk tangki BBM yang tengah melintas. Kemurnian niat jangan dikotori dengan kekonyolan tindakan.

     Ditarik lebih jauh, tindak anarkis hanya akan membuat true believers otoritarianisme memperoleh amunisi untuk berujar bahwa demokrasi itu pendulang masalah belaka. Lalu, kata mereka, ayo kembali ke “masa silam yang tenteram.”

     Di sisi lain, pemerintah juga mestinya jangan terlalu reaktif seraya mengenakan kacamata masa lalu. Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Syamsir Siregar pada pekan lalu menyatakan bahwa aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM telah ditunggangi. Tak pelak, pernyataan semacam ini menggiring ingatan kita pada praktik-praktik penguasa masa Orde Baru.

     Ditunggangi atau tidak, bukan itu pokok soalnya. Demonstrasi adalah instrumen sah menyuarakan aspirasi. Aparat keamanan baru relevan bicara atau bertindak saat demonstrasi dibumbui aksi kriminal.

     Demokrasi memang menimbulkan kegaduhan. Ini harga yang mesti dibayar. Karena, kita semua pasti tak mau kembali ke era saat sekadar menyalakan lilin di ruang publik pada malam hari pun diganjar dengan bui
 

Tidak ada komentar: